Rencana Melindungi si Kuat

OLYMPUS DIGITAL CAMERA

Oleh Binziad Kadafi

Tren ketakutan di kalangan pejabat publik

Coba bayangkan. Suatu saat nanti, ada kondisi di mana orang-orang yang tidak etis dan tidak bermoral berupaya sangat keras merebut berbagai jabatan publik yang ada. Tujuannya satu, supaya mereka bisa melakukan tindak pidana −sekalipun merugikan banyak orang, dan asalkan menguntungkan diri sendiri− tanpa kuatir dituntut secara hukum. Barangkali dalam konteks Indonesia kita tidak perlu membayangkannya lagi. Barangkali hal itu sudah demikian adanya. Tetapi kecenderungan itu akan semakin meluas apabila pemerintah beberapa waktu lalu jadi menerbitkan aturan hukum yang melindungi pejabat publik dari pertanggungjawaban hukum atas kebijakannya.

Perlindungan hukum yang dinikmati golongan tertentu, tepatnya kekebalan hukum, adalah ancaman terbesar bagi prinsip dasar demokrasi dan keadilan. Kekebalan hukum pejabat mengandung ironi. Di mana ada orang-orang yang diberi kepercayaan publik, tetapi tidak bisa dimintai pertanggungjawaban ketika kepercayaan tersebut jelas-jelas mereka langgar.

Direproduksinya wacana perlindungan hukum bagi pejabat tidak bisa dilepaskan dari geliat pemberantasan korupsi. Dikatakan reproduksi karena berbagai privilise bagi pejabat di Indonesia sebenarnya sudah dinikmati sejak lama, termasuk kekebalan. Entah dengan peraturan, atau dengan mandulnya penegakan hukum, terutama pada tindak pidana korupsi, yang pelakunya sebagian besar pejabat.

Meski masih menuai kritik, geliat pemberantasan korupsi mulai terasa di Indonesia. Banyak anggota DPRD sekitar 2004 yang ditetapkan menjadi tersangka korupsi, bahkan telah dijatuhi pidana. Berikutnya, giliran pejabat pemerintahan daerah yang banyak jadi target penindakan. Mereka umumnya  terlibat korupsi penyalahgunaan APBD.

Tetapi bukan itu saja. Figur-figur kuat seperti gubernur, menteri, komisioner, dan anggota DPR, baik yang aktif maupun sudah tidak aktif, mulai dibuat kuatir oleh kegiatan penyidikan dan penuntutan menggunakan beragam pasal tindak pidana korupsi. Bahkan sebagian sudah merasakan sunyinya ruang penjara.

Geliat pemberantasan korupsi jelas membawa dampak, baik positif maupun negatif, tergantung kaca mata siapa yang dipakai melihatnya. Selain ketakutan berbuat curang serta mulai menguatnya apresiasi pejabat terhadap prinsip kehati-hatian, geliat pemberantasan korupsi juga membawa dampak, yang oleh sebagian kalangan, disebut sebagai stagnansi aktivitas pembangunan.

Dari sebuah penelitian BPKP pada 2006, disinyalir banyak pejabat, pusat maupun daerah, yang ketakutan memimpin suatu proyek pembangunan. Sebuah posisi yang dulunya sangat diperebutkan. Akibatnya, realisasi proyek-proyek pembangunan jadi sangat rendah. Fenomena lain juga bermunculan. Banyak bankir yang lantaran takut dituduh korupsi, memilih bersikap pasif dalam menyalurkan kredit.

Berbagai gejala di permukaan itulah yang pernah coba ditangkap mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla yang saat itu juga Ketua Umum Partai Golkar. Dalam sebuah rapat Partai Golkar Mei 2006, Kalla mengungkapkan perlunya dibuat aturan yang akan melindungi pejabat supaya mereka tidak takut lagi melangkah.

Sebenarnya ketika gagasan itu dilontarkan, potensinya menjadi senjata baru bagi pejabat untuk menghindar dari tanggung jawab hukum, sudah disadari. Karenanya sejak awal sudah dijelaskan, bahwa aturan itu hanya untuk memilah antara kejahatan dan kesalahan kebijakan. Antara pertanggungjawaban pidana dengan pertanggungjawaban administrasi dan politik.

Tetapi justru di situ letak soalnya. Lewat pernyataan tersebut, seolah-olah hukum Indonesia belum memiliki garis batas untuk memilah antara kejahatan dengan kesalahan kebijakan. Secara tidak langsung, pernyataan tersebut juga meragukan berbagai putusan Pengadilan terhadap perkara korupsi karena aturan hukumnya dianggap belum jelas. Dan ternyata pernyataan itu senada dengan pembelaan banyak pejabat yang dituduh korupsi, namun berusaha mengalihkan pertanggungjawaban pidana menjadi sekadar pertangungjawaban administrasi.

Kenapa takut?

Semestinya, untuk sampai pada sebuah usulan solusi, siapa pun yang mencetuskan dan menggodok usulan perlindungan bagi pejabat, harus mengidentifikasi lebih dulu akar masalahnya. Kenapa banyak pejabat publik takut menjalankan tugas, meskipun tugas tersebut sah dan ada landasan peraturannya?

Seseorang menjadi takut, biasanya ketika dihadapkan pada tantangan yang sulit dia atasi. Karena itu takut menjalankan tugas secara benar dalam konteks ini, sama artinya dengan pengakuan pejabat bahwa mereka “kesulitan menjalankan tugasnya dengan benar”. Lalu pertanyaannya adalah, faktor-faktor apa yang sesungguhnya membuat pejabat publik kesulitan menjalankan tugas dengan benar?

Salah satu penyebab yang banyak dikeluhkan sekaligus sering jadi pembenar atas penyimpangan kebijakan, adalah kondisi darurat. Dalam kondisi tertentu seringkali pejabat publik harus mengambil kebijakan darurat. Misalnya ketika terjadi bencana alam maupun wabah penyakit yang memang membutuhkan penanganan cepat, yang tidak boleh dihambat oleh ketentuan administrasi sebagaimana biasanya. Karena menyimpang dari prosedur administrasi yang normal, ada ketakutan akan dipersalahkan.

Ketakutan tersebut menunjukkan bahwa berbagai peraturan tentang administrasi pemerintahan belum memuat kriteria dan prosedur yang jelas bagi pengambilan keputusan dan pelaksanaan kewenangan. Apa kriteria untuk menentukan suatu kondisi adalah darurat, serta bagaimana prosedur menjalankan kewenangan dalam kondisi semacam itu, agaknya belum diatur secara rinci. Diskresi dan wilayah abu-abu (grey area) bagi pejabat masih terlalu besar. Seolah mereka dilepas ke hutan belantara hanya berbekal senjata tanpa peta. Akibatnya mereka bisa tersesat dan celaka, atau justru membuat celaka.

Ketertutupan birokrasi juga bisa menjadi faktor penyebab berikutnya. Apabila kebijakan diambil secara tertutup, maka masyarakat tidak bisa mengontrolnya. Ketertutupan mengundang persepsi korupsi. Ketiadaan kontrol adalah kesempatan bagi penyimpangan. Lemahnya mekanisme checks and balances antar lembaga-lembaga negara, khususnya antara pemerintah dan lembaga perwakilan, entah karena pemandulan fungsi atau karena diikat oleh kepentingan jangka pendek yang sama, juga memberi kesempatan besar bagi penyimpangan.

Ketidaktahuan pejabat publik terhadap berbagai peraturan yang mendasari kewenangannya juga berpengaruh besar. Bagaimana mungkin mereka menjalankan kewenangan dengan benar jika tidak tahu apa yang wajib, boleh, dan terlarang. Dalam berbagai sidang kasus korupsi, tidak sedikit terdakwa menggunakan alasan tidak tahu peraturan. Kesenjangan komunikasi, buruknya diseminasi peraturan, pameo “pejabat pasti tahu peraturan”, serta kemalasan belajar, bisa dibidik sebagai penyebab utama di sini.

Faktor lain adalah kemampuan si pejabat. Ternyata pemilihan langsung tidak otomatis menghasilkan pejabat publik yang mampu. Kapasitas representasi yang didapat dari besar kecilnya suara dalam pemilihan umum tidak selalu berbanding lurus dengan kapasitas kepemimpinan, integritas, manajemen, dan administrasi. Bagi pejabat yang diangkat atau yang meniti karir, ketiadaan mekanisme evaluasi kinerja yang baik serta buruknya sistem pengangkatan dan promosi, menjadikan kemampuan mereka menjalankan kewenangan sulit dipastikan. Fit and proper test yang sudah mulai diterapkan dalam seleksi beberapa jabatan publik kadang lebih terasa sebagai formalitas daripada mekanisme penyaringan merit.

Sikap lama yang menekankan jabatan dari status dan hak ketimbang fungsi dan kewajiban, juga turut menjelaskan kenapa pejabat di Indonesia kesulitan menjalankan kewenangannya dengan benar. Pola pikir masa lalu bahwa pejabat adalah penguasa bukannya pemegang kepercayaan rakyat masih kental tertanam di kepala sebagian pejabat publik kita. Hal ini jelas mempengaruhi cara mereka memandang rakyat dan cara mereka bertanggungjawab kepada rakyat.

Faktor terakhir yang justru paling penting adalah motif, baik yang bersifat ekonomis maupun non-ekonomis. Sulit tidaknya bertugas secara benar sering dipengaruhi oleh cara  pandang pejabat terhadap keuntungan material maupun immaterial dari kebijakannya. Menjalankan kewenangan secara benar artinya mengikuti semua aturan main (khususnya tentang alokasi sumberdaya). Jika aturan main tersebut ditaati, kecil peluang memetik keuntungan dari kebijakan, baik bagi diri sendiri ataupun golongannya. Bukan rahasia hal ini merupakan disinsentif bagi pejabat publik untuk bertindak dengan benar.

Menguji jalan keluar yang ditawarkan

Dengan mengenali akar dari suatu masalah, kita bisa menguji apakah suatu usulan jalan keluar memang tepat atau salah alamat. Atau lebih mendasar lagi, apakah usulan tersebut memang bisa menyelesaikan persoalan, tidak bisa menyelesaikan persoalan, atau justru menciptakan berbagai persoalan baru?

Jalan keluar berupa rencana penerbitan aturan hukum yang melindungi pejabat, apabila kita hadapkan dengan berbagai akar masalah di atas, jelas kontraproduktif. Aturan perlindungan potensial menambah nyali pejabat untuk melanggar kriteria dan prosedur dalam menjalankan kewenangan, karena toh pada akhirnya mereka terlindung dan semakin jauh dari tanggungjawab hukum.

Dari sudut sikap, mulai munculnya sikap takut korupsi di kalangan pejabat, yang begitu keras diupayakan berbagai pihak (masyarakat dan penegak hukum), akan pupus begitu saja karena digilas oleh sikap above the law yang datang dari kebijakan perlindungan tersebut.

Dan yang paling berbahaya adalah implikasi perlindungan hukum bagi pejabat terhadap faktor motif. Keserakahan dan mental korupsi akan semakin kuat melatari berbagai kebijakan publik lantaran motif-motif tersebut tambah sulit disentuh oleh sanksi hukum yang setimpal.

Hukum pidana dan hukum administrasi negara kita sudah secara jelas membedakan mana kejahatan, mana salah kebijakan. Jika pejabat melakukan kejahatan pasti akan diadili di peradilan pidana dan dikenai sanksi pidana. Sedangkan jika pejabat keliru dalam mengambil keputusan yang sifatnya konkrit, individual, dan final, sehingga merugikan seseorang, dia bisa digugat ke Pengadilan Tata Usaha Negara.

Sudah jelas pula bahwa pejabat hanya bisa dituntut secara pidana apabila tindakannya mengandung unsur melawan hukum, memuat niat memperkaya diri sendiri atau orang lain, dan dapat merugikan keuangan negara. Untuk apa lagi diperjelas? Jangan-jangan aturan perlindungan pejabat malah mengaburkan kriteria tindak pidana dan jadi tameng bagi pejabat yang sesungguhnya jahat. Bisa saja seorang pejabat mengambil kebijakan yang seolah-olah benar. Padahal jika diselidiki, kebijakan itu ternyata mengandung berbagai kriteria tindak pidana.

Cabut akar masalahnya

Ada logika sederhana. Untuk menyelesaikan suatu masalah, kita harus menghilangkan faktor-faktor yang menyebabkan masalah itu muncul. Masalah akan tetap ada ketika penyebabnya dibiarkan ada.

Untuk mendorong pejabat publik agar berani menjalankan kewenangannya secara benar, semua akar masalahnya yang telah diidentifikasi harus lebih dulu dihilangkan dengan rincian solusi yang logis. Jangan mengajukan solusi yang melenceng dari akar masalah. Solusi harus setia pada akar masalah.

Solusi yang seharusnya ditawarkan, paling sedikit memuat komponen-komponen sebagai berikut. Pertama, perkecil grey area pada setiap aturan hukum yang menyangkut tugas dan wewenang pejabat, atau yang menyangkut administrasi pemerintahan pada umumnya. Perlengkap kriteria dan prosedur bagi pejabat dalam mengambil kebijakan dan melaksanakan kewenangan. Terjemahkan semua asas-asas umum pemerintahan yang baik ke dalam berbagai aturan hukum tersebut. Sedapat mungkin jangan sisakan ruang bagi diskresi. Paket RUU di bidang administrasi pemerintahan bisa jadi langkah awal untuk merealisasikan solusi ini. Ke depan, perbaikan berbagai aturan yang tumpang tindih, tidak jelas, dan tidak lengkap harus jadi prioritas program legislasi nasional demi kepastian hukum bagi pejabat dan terutama bagi masyarakat.

Kedua, segera terapkan prinsip keterbukaan dalam menjalankan roda administrasi pemerintahan. Buka pintu selebar mungkin bagi partisipasi publik dalam perencanaan, pelaksanaan, monitoring, dan evaluasi program-program pemerintahan. Dari situ akan kelihatan mana kebijakan yang ditentang, dikritik, dan didukung masyarakat. Dukungan masyarakat adalah perlindungan yang sebenar-benarnya.

Ketiga, jalankan sikap kritis, saling mengawasi, dan saling mengimbangi antarcabang kekuasaan negara. Lembagakan mekanismenya, agar ada early warning system atas suatu potensi pelanggaran hukum sebelum hal itu terjadi. Dukungan politik lembaga perwakilan bisa meningkatkan keberanian mengambil dan menjalankan kebijakan, apalagi jika didasari kepentingan rakyat.

Keempat, perbaiki arus informasi dan diseminasi peraturan perundang-undangan, baik dari pusat ke daerah, dari daerah ke pusat, atau dari suatu lembaga ke lembaga yang lain. Teori fiksi hukum yang menganggap setiap orang tahu peraturan ketika peraturan itu diundangkan, harus diimbangi dengan sosialisasi peraturan secara lebih sistematis. Para pejabat harus jadi target pertama yang mesti memahami peraturan terkait dengan tugas dan wewenangnya.

Kelima, bagi pejabat publik yang dipilih, dorong publik untuk kritis terhadap program-program yang ditawarkan para calon, dan menjadikan hal itu sebagai indikator untuk menilai kapasitas calon sebelum memilih. Adapun bagi pejabat yang diangkat atau meniti karir, terapkan mekanisme fit and proper test yang objektif, profesional, transparan dan akuntabel dalam sistem rekrutmen dan promosi karir. Pastikan setiap orang yang mengemban suatu tugas dan kewenangan adalah benar-benar orang yang bersih, mampu, dan hati-hati dalam menjalankannya.

Keenam, tingkatkan kemampuan pejabat publik secara menyeluruh. Gunakan forum-forum yang sudah ada sebagai media berbagi pengalaman dan pengetahuan serta peningkatan kemampuan dalam menyelenggarakan administrasi pemerintahan yang baik. Jadikan mereka yang lebih dulu berbenah sebagai model bagi yang lain.

Ketujuh, rumuskan, sepakati, serta tegakkan kode etik dan standar kerja yang bisa memandu para pejabat untuk berperilaku sesuai, serta mampu menghindarkan pejabat dari kecenderungan melanggar hukum. Kontekstualisasi dan internalisasi kode etik dan standar kerja di setiap lembaga sangatlah penting.

Kedelapan, tingkatkan penegakan hukum guna memastikan para pejabat yang punya motif jahat dalam mengambil kebijakan akan menerima sanksi setimpal. Pertimbangkan reward mechanism untuk meningkatkan insentif bagi pejabat publik dalam menyelenggarakan pemerintahan secara baik dan benar.

Menjalankan tugas dan kewenangan secara benar adalah kewajiban pejabat. Karena wajib, tidak cukup alasan untuk menghindar dari tugas, hanya karena takut tergelincir ke dugaan korupsi. Di sisi yang lain, korupsi jelas-jelas dilarang. Karena dilarang, pejabat tidak boleh menyelimuti korupsi di balik kebijakan. Biarkan sistem peradilan yang menentukan apakah suatu tindakan memang betul hanya ada di wilayah administrasi negara atau sudah menyentuh wilayah pidana, berbekal aturan hukum yang adil dan mekanisme penegakan hukum yang independen, yang kualitasnya harus selalu kita perbaiki dari waktu ke waktu, bukannya malah dirusak dengan upaya mengangkangi prinsip dasar equality before the law, lewat kebijakan memberi imunitas hukum kepada kalangan tertentu.

Jakarta, Medio 2006

Posted in Anti Korupsi, Hukum | Leave a comment

Pendidikan dan Latihan (Diklat) Hakim

IMG_20151120_174459_Fotor

Oleh Binziad Kadafi

Pengantar

Diklat hakim atau banyak juga dikenal sebagai judicial training adalah terminologi yang digunakan bagi forum pertemuan para hakim untuk membahas topik-topik ilmiah (baik dalam lingkup internasional, nasional, regional, dan lokal) serta segala informasi yang berkaitan dengan tugas hakim dan pengadilan. Diklat hakim kemudian dibagi ke dalam dua jenis, yaitu: (1) program orientasi di awal jabatan (initial training) bagi para (calon) hakim yang baru direkrut; dan (2) program pendidikan berkelanjutan (in-service training) sepanjang karir/masa jabatan hakim.

Sebenarnya berbagai negara baik yang menerapkan sistem hukum common law maupun civil law berharap agar hakim-hakim mereka dapat belajar sambil menjalankan tugas (learning by doing). Untuk tujuan tersebut, biasanya negara civil law menggunakan sistem magang informal, di mana hakim yang baru direkrut diperlakukan sebagai staf semiprofesional dalam masa tertentu, untuk mengembangkan kemampuannya hingga layak diangkat sebagai hakim penuh. Adapun negara common law sengaja merekrut hakimnya dari bar association (organisasi advokat) sehingga kapasitas profesional calon hakim dan pengenalannya terhadap sistem dan praktek peradilan sudah terlebih dulu dipastikan.[1]

Tetapi dengan perubahan pola rekrutmen[2], meningkatnya beban kerja pengadilan, dan semakin kompleksnya persoalan hukum yang dihadapi pengadilan, pendekatan tersebut dinilai tidak lagi memadai. Hampir seluruh negara menyadari pentingnya program diklat hakim yang lebih terstruktur, dan mulai mengorganisasikan baik initial training maupun in-service training, terutama setelah Perang Dunia II.

Meski demikian, negara-negara civil law yang memandang hakim sebagai jabatan karir dan merekrut hakim dari kalangan sarjana hukum yang baru lulus (fresh graduate) lebih menekankan diklat awal jabatan (initial training) dalam wujud alokasi waktu dan sumberdaya yang lebih besar.[3] Sedangkan negara common law lebih berfokus pada diklat di tengah masa jabatan (in-service training). Namun pilihan fokus tersebut tidak menutup keduanya untuk mengintroduksi baik initial training maupun in-service training sekaligus.

Fakta bahwa hampir seluruh negara di dunia mengakui arti penting diklat hakim bukan tidak berdasar. Sebab meski sering tidak dijadikan prioritas, diklat sebenarnya dan “seharusnya” mengemban fungsi vital bagi penciptaan peradilan yang imparsial, kompeten, dan efektif. Malah melalui program diklat, potensi bagi implementasi prinsip-prinsip peradilan yang ideal tersebut bisa didorong dari dalam pengadilan sendiri.

Sebab program diklat hakim yang baik akan berangkat dari analisa terhadap setiap kelemahan yang ada di lembaga peradilan. Dari situ akan disusun respon untuk mengatasi setiap kelemahan yang ditemukan, untuk dipresentasikan kepada para hakim lewat forum dan materi diklat, untuk kemudian dibahas dan disepakati peran masing-masing pihak untuk mengimplementasikannya.

Diklat memiliki korelasi erat dengan imparsialitas peradilan, yaitu dengan mengeliminir potensi bias dari sikap dan cara berfikir hakim saat mengungkap dan menilai fakta di persidangan, termasuk saat menerapkan hukum bagi fakta tersebut.[4] Diklat juga bisa meningkatkan kompetensi hakim untuk selalu dapat menyesuaikan diri dengan perkembangan hukum yang kompleks, baik di bidang hukum substantif maupun hukum prosedural.

Diklat pun berpengaruh bagi efektivitas pelaksanaan fungsi hakim, yaitu dengan meningkatkan pemahaman mereka terhadap masalah-masalah kemasyarakatan, konsep dan filosofi di balik reformasi hukum dan peradilan yang tengah dijalani, serta tentang tanggung jawab hakim dan pengadilan terhadap masyarakat. Diklat seharusnya bisa membuat para hakim lebih responsif terhadap keluhan-keluhan masyarakat mengenai peradilan. Tanpa harus mengandalkan perbaikan di tingkat kelembagaan dan prosedur beracara, para hakim dengan kapasitas intelektual memadai diharapkan bisa mencari alternatif solusi bagi permasalahan peradilan, yang kadang cukup bermodalkan fungsi, kewenangan, dan peran yang dimiliki masing-masing.

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Keberhasilan Diklat

Ada beberapa faktor yang turut mempengaruhi keberhasilan program diklat agar bisa mencapai tujuan yang diharapkan. Faktor pertama adalah kualitas pendidikan hukum secara umum dan sistem rekrutmen hakim. Sebenarnya jika SDM yang direkrut pengadilan bisa dipastikan terdiri dari orang-orang terbaik sebagai output dari sistem pendidikan hukum yang berkualitas, maka kebutuhan akan diklat bisa dikurangi secara signifikan. Atau jika harus diadakan, maka materi diklat bisa langsung diarahkan pada materi-materi yang sifatnya lanjutan (advance), bukannya berisikan materi dasar yang seharusnya sudah didapat di bangku kuliah.

Tetapi pengadilan pun secara tidak langsung punya kontribusi terhadap lemahnya kualitas pendidikan hukum di Indonesia. Ketertutupan putusan pengadilan untuk bisa diakses oleh pihak luar, bahkan untuk kepentingan akademik sekalipun, adalah salah satu wujudnya. Akibatnya mahasiswa hukum sangat terbatas kesempatannya mempelajari putusan-putusan hakim, sehingga mereka tidak tahu banyak bagaimana hukum bekerja di kehidupan nyata.

Wujud kontribusi pengadilan terhadap lemahnya kualitas pendidikan hukum adalah sistem rekrutmen hakim yang longgar, yang seringkali hanya mengandalkan syarat akademik formal bagi calon-calon yang mendaftar (indeks prestasi)[5], bukan indikator lain yang sebenarnya lebih mampu menggambarkan kualitas calon (seperti ujian seleksi yang lebih ketat, dan memastikan status akreditasi fakultas hukum asal calon). Karenanya tidak ada efek domino yang bisa diberikan dari sistem rekrutmen hakim terhadap peningkatan kualitas lembaga-lembaga pendidikan hukum.

Faktor kedua adalah budaya kerja di pengadilan. Jika sistem pengawasan dan evaluasi kinerja hakim tidak dikembangkan, maka sulit mengharapkan motivasi hakim mengikuti diklat bisa diarahkan secara positif. Seperti diketahui instrumen pengawasan dan evaluasi kinerja yang ada sekarang masih bersifat proforma (dalam bentuk DP3[6] yang berlaku bagi semua PNS). Mereka yang giat, teguh menjaga integritas, dan terus meningkatkan kompetensinya masih diperlakukan sama dengan mereka yang punya karakter sebaliknya. Sehingga penentuan promosi (dan mutasi) hakim belum didasarkan pada indikator yang terukur, dan unsur non-merit masih bisa ikut berbicara. [7]

Seharusnya ada instrumen baru yang mampu jadi dasar penilaian kinerja hakim secara objektif. Antara lain menghidupkan kembali mekanisme eksaminasi putusan dan penyempurnaan sistem pengawasan internal oleh MA, guna mendukung dan melengkapi sistem pengawasan eksternal yang akan dilakukan oleh Komisi Yudisial dan eksaminasi eksternal yang dilakukan berdasarkan inisiatif masyarakat, khususnya anggota komunitas hukum. Apabila kualitas putusan hakim dieksaminasi dengan benar dan berkala, dan hasil eksaminasi tersebut dijadikan salah satu dasar bagi promosi atau mutasinya, maka motivasi hakim untuk menambah kompetensinya (melalui berbagai program diklat yang ada) akan meningkat dengan sendirinya. Sebab hakim dituntut untuk selalu menghasilkan putusan serta menjalankan fungsi lainnya secara berkualitas. Perlunya prinsip keterbukaan putusan untuk diterapkan sepenuhnya[8], kembali mencuat dalam konteks ini. Tanpa itu, para hakim akan terus merasa jauh dari kontrol atasannya, rekan sejawat, dan kontrol masyarakat, lantaran putusannya hanya bisa diakses secara terbatas.

Faktor ketiga adalah status hakim yang PNS, yang oleh karena itu menundukkan hakim pada sistem diklat yang berlaku bagi PNS pada umumnya. Mulai dari diklat praktek I (magang) calon hakim sebagai calon pegawai negeri sipil (CPNS) di tahun pertama proses seleksinya,[9] serta diklat prajabatan yang juga harus diikuti calon hakim, sebagian besar materinya tidak terlalu relevan dengan jabatan hakim dan tidak terfokus pada “pembentukan” hakim, selain “pembentukan” PNS. Atau diklat-diklat struktural bagi PNS seperti ADUM, SPAMA, SPAMEN, SPATI, yang tidak relevan dengan fungsi dan tugas hakim, yang meskipun tidak wajib bagi hakim, namun ternyata masih banyak diikuti oleh hakim yang sudah menjabat.[10]

Status hakim yang PNS pula yang akhirnya meletakkan diklat hakim ke dalam kewenangan Pusdiklat Depkeh & HAM, serta secara tidak langsung membatasi Pusdiklat MA. Padahal sudah cukup lama (sejak 1995) Pusdiklat Depkeh & HAM lebih berfokus hanya pada diklat calon hakim.[11] Karenanya pembentukan sistem diklat yang baru (khusus bagi hakim), guna mengecualikan sistem diklat PNS yang tidak relevan bagi jabatan hakim harus dilakukan, agar diklat hakim benar-benar sepenuhnya mengakomodasikan karakter, tuntutan tugas, serta cara kerja hakim yang spesifik. Tetapi tentu saja hal ini bergantung pula pada proses pengalihan administrasi kepegawaian ke bawah MA yang menurut UU No. 35 tahun 1999 sudah harus terjadi pada Agustus 2004 mendatang.

Adapun faktor keempat, yang klasik ditemukan di kebanyakan negara berkembang, adalah keterbatasan infrastruktur dan sumber daya finansial. Anggaran negara yang minim bagi sektor peradilan dibanding sektor-sektor lainnya adalah masalah laten bagi negara berkembang seperti Indonesia. Dari anggaran yang minim tersebut pun, biasanya lembaga peradilan tidak menjadikan program diklat sebagai prioritas. Dan lembaga diklat hakim mau tidak mau harus menghadapi dilema. Yaitu di satu sisi anggaran peradilan sangat minim, dan anggaran diklat hakim juga ditentukan minim dari situ, sementara di sisi lain ada tuntutan kuat untuk meningkatkan kualitas hakim.

Karenanya potensi dukungan dari pihak eksternal harus bisa dioptimalkan. Dan karakter program diklat yang netral (tidak mengundang resistensi yang kuat baik dari dalam maupun dari luar pengadilan), relatif terukur (baik proses maupun hasilnya) serta borderless (dalam artian bisa mencakup isu-isu hukum nasional, regional, bahkan internasional), membuat banyak lembaga eksternal (dalam dan luar negeri) yang tertarik untuk mendukung program diklat.[12] Namun tentu saja prinsip independensi dan potensi conflict of interest harus diantisipasi oleh MA ke depan. Antara lain dengan menyeleksi ketat lembaga-lembaga tersebut, mengkaji latar belakang dan kepentingan dari setiap tawaran bantuan yang masuk, serta memastikan bahwa lembaga-lembaga tersebut tidak pernah atau tidak memiliki potensi untuk bersengketa hukum di Indonesia.

Program diklat yang sesuai kebutuhan real para hakim (dan tentu saja mengacu pada kebutuhan real masyarakat terhadap perbaikan peradilan) harus dimiliki terlebih dulu. Sehingga lembaga diklat hakim punya posisi yang jelas untuk menyikapi bantuan yang datang, dengan berkata “ya” bagi program diklat yang memang benar-benar diperlukan, dan berkata “tidak” bagi program lain yang dinilai tidak dibutuhkan.

Di samping itu, untuk mengoptimalkan penggunaan anggaran internalnya, beberapa masalah krusial dalam sistem diklat hakim seperti perencanaan, distribusi kesempatan, evaluasi, hingga pemanfaatan hasil diklat harus lebih dulu dibenahi. Sebab jika tidak, program diklat hakim akan kembali pada kondisi serba terbatas, terjebak dalam rutinitas, dan tidak terasa dampaknya bagi organisasi secara keseluruhan.

Masalah Kelembagaan

Selain itu ada beberapa persoalan yang sangat mempengaruhi keberhasilan program diklat dari internal MA sendiri. Salah satunya adalah faktor kelembagaan. Lembaga diklat hakim (dikenal sebagai Pusdiklat MA) tergolong baru dalam struktur MA, yaitu sejak keluarnya SK Pansekjen tahun 2001.  Pusdiklat MA didudukkan sebagai unit kerja setingkat eselon II di bawah koordinasi Pansekjen MA.[13] Tentu saja mengingat beban kerjanya yang cukup tinggi, dan mungkin akan jauh meningkat lagi pascapenyatuan atap nantinya, posisi Pusdiklat yang setingkat eselon II tidak akan mampu lagi menanggung beban kerja tersebut, baik dari sudut alokasi SDM maupun alokasi sumber daya lainnya.

Soal lain yang berkaitan erat dengan masalah kelembagaan adalah tidak adanya kualifikasi yang harus dipenuhi oleh pimpinan dan staf lembaga diklat. Posisi Kepala Pusdiklat dan unsur-unsur di bawahnya hanya diisi dengan mekanisme tour of duty dan syarat kepangkatan biasa. Padahal karakter lembaga ini jelas berbeda dari unit kerja MA yang lain. Harus ada karakter “pendidik” yang harus dimiliki pimpinan dan staf lembaga diklat hakim. Dan karena diklat hakim juga diharapkan bisa mendorong perubahan sikap dan perilaku hakim ke arah yang lebih baik, maka karakter integritas juga harus dijadikan kualifikasi teratas yang mesti dipenuhi.

Karakter-karakter tersebut (terutama karakter integritas) juga harus dimiliki oleh tenaga pengajar tetap.[14] Namun sayangnya, hingga saat ini Pusdiklat MA belum memiliki tenaga pengajar tetap (dalam sistem yang ada disebut widyaiswara), selain kelompok fungsional yang terdiri dari kalangan hakim yang direkrut untuk menjalankan fungsi-fungsi tertentu. Bahkan di Pusdiklat Depkeh & HAM, tidak satu pun tenaga widyaiswaranya yang berasal dari kalangan hakim. Faktor insentiflah yang paling besar menghambat masuknya hakim sebagai tenaga pengajar tetap, baik insentif karir maupun insentif finansial. Sebab syarat menjadi widyaiswara haruslah PNS yang mengajukan permohonan 2 tahun menjelang pensiun. Sehingga apabila seorang hakim menjadi widyaiswara, maka yang bersangkutan akan diperlakukan sebagaimana PNS lain dan otomatis menghilangkan aksesnya untuk mendapatkan insentif dari jabatan hakim.

Padahal investasi tenaga pengajar tetap sangat penting bagi program diklat hakim, melalui proses seleksi yang ketat. Dengan adanya tenaga pengajar tetap yang mengabdikan sekian waktu dari karirnya, maka berbagai program pengembangan bisa dilakukan, antara lain dengan melaksanakan program training of trainers bagi pengajar tetap tersebut. Dengan begitu mereka akan menguasai metode pengajaran yang baik dan efektif. Sebaiknya pengajar tetap sebagian besar direkrut dari kalangan hakim sendiri, yang punya pengalaman kerja memadai, namun masih potensial untuk terus dikembangkan.[15] Dan untuk menarik minat para hakim untuk menjadi tenaga pengajar tetap, MA ke depan harus membuat aturan karir yang baru, yang memasukkan posisi tenaga pengajar diklat sebagai bagian dari skema karir hakim dengan insentif setara (atau lebih tinggi) dibanding karir hakim yang lain.

Lalu mengingat kompleksitas permasalahan hukum yang terus berkembang, dibutuhkan pula para spesialis ahli di bidang-bidang tertentu (yang berasal dari kalangan akademisi atau unsur lain) untuk direkrut sebagai tenaga pengajar tetap, di samping sebagai pengajar tamu. Dengan demikian komitmen mereka akan menjadi lebih kuat, sehingga mereka juga terikat untuk mengembangkan program diklat hakim agar mampu berdiri sejajar dengan program pendidikan profesional lainnya.

Kurikulum Diklat Hakim

Kadang lembaga diklat hakim ingin berbuat terlalu banyak, dalam artian berusaha untuk memenuhi setiap aspek yang “ingin diketahui” para hakim. Akibatnya lembaga diklat berpotensi untuk menjadi fakultas hukum baru, termasuk memberikan materi yang seharusnya sudah dicakup dalam pendidikan hukum dasar.[16] Atau memberikan materi yang terlalu advance padahal tidak relevan dengan pelaksanaan tugas hakim sehari-hari. Dan biasanya kecenderungan tersebut disebabkan oleh metode penyusunan kurikulumnya yang bersifat top-down.

Jika peran program diklat untuk memperbaiki kinerja hakim dan pengadilan ingin dijalankan, maka penyusunan kurikulum yang bersifat top-down sudah harus ditinggalkan. Harus ada mekanisme yang menjembatani antara kurikulum diklat dengan kinerja hakim. Dan mekanisme yang paling tepat adalah analisa kebutuhan (needs assessment), baik kepada target peserta (para hakim sendiri), pimpinan pengadilan di semua tingkatan, termasuk dengan melibatkan opini pengguna jasa pengadilan (jaksa, advokat, masyarakat pencari keadilan, dan lain-lain). Analisa kebutuhan bisa dilakukan antara lain melalui survei, wawancara, focus group discussion, dan lewat kajian terhadap data evaluasi kinerja (hasil eksaminasi, data pengaduan, dan lain-lain).

Melalui analisa kebutuhan diharapkan kurikulum diklat akan meliputi isu-isu konkrit yang langsung berkaitan dengan kinerja hakim, seperti teknik menggali keterangan saksi, metode musyawarah majelis yang efektif, dan lain-lain. Dengan begitu penentuan kurikulum diklat dapat menghasilkan rincian perilaku yang ditargetkan untuk berubah melalui program diklat. Kurikulum diklat hakim tidak lagi berfungsi memuaskan apa yang ingin diketahui hakim saja, tetapi juga mengintervensi untuk kemudian memperbaiki aspek-aspek di mana putusan dan tindakan hakim dirasakan bermasalah.

Tentu saja hasil dari analisa kebutuhan yang mencerminkan kebutuhan real para hakim akan pengetahuan dan keterampilan tertentu, harus bisa diimbangi dengan muatan kurikulum ideal yang “seharusnya” dikuasai oleh para hakim. Sehingga kurikulum diklat tidak hanya berkutat pada tantangan tugas yang dihadapi para hakim saat ini, melainkan juga tantangan yang potensial dihadapi di masa depan. Atau dengan kata lain, diharapkan dapat dibentuk kurikulum diklat yang terjaga konsistensi dan kontinuitasnya dari waktu ke waktu, serta lebih antisipatif terhadap perkembangan dan lebih visioner.

Ada beberapa hal yang dipercaya dapat membentuk kompetensi profesional seorang hakim, yaitu:

1. Pengetahuan hukum

Agar hakim bisa selalu up to date terhadap perkembangan hukum, terutama tentang peraturan perundang-undangan, doktrin hukum, dan yurisprudensi yang akan mempengaruhi yurisdiksi hakim yang bersangkutan.

2. Teknik bersidang

Agar hakim bisa meminimalisir inefisiensi dalam persidangan, seperti membuang-buang waktu dan melakukan proses yang sebenarnya tidak perlu, dengan mempelajari keterampilan baru dalam praktek beracara.

3. Manajemen perkara

Agar hakim memahami tentang bagaimana bekerjanya sistem manajemen perkara di pengadilannya, alasan mengapa sistem manajemen tersebut yang digunakan, serta bagaimana cara mengoptimalkan sistem manajemen tersebut bagi pemenuhan prinsip-prinsip peradilan yang baik.

4. Kepekaan (awareness)

Agar hakim lebih peka terhadap perbedaan budaya, gender, dan lain-lain yang ada di masyarakat, dan dampaknya bagi penyelenggaraan peradilan. Sebab mempelajari hukum tidak akan terlepas dari mempelajari interaksi manusia dan konflik yang muncul di dalamnya, serta beragam pendekatan yang digunakan dalam menyikapi bahkan menyelesaikan hal tersebut. Untuk memastikan bahwa sistem peradilan bekerja untuk mendukung perbaikan interaksi manusia, bukannya malah menimbulkan konflik baru, para hakim harus terus mengembangkan kepekaannya terhadap perbedaan budaya, gender, dan lain-lain.

5. Teknologi modern

Teknologi modern, terutama teknologi informasi sangat penting bagi hakim untuk mendapatkan informasi dan mendukung manajemen kerja yang lebih baik. Bahkan pengadilan sudah seharusnya mengarah pada pengadministrasian perkara secara elektronik.

20151120_194711_Fotor

Evaluasi dan Pemanfaatan hasil Diklat

Niatan untuk mengaitkan antara program diklat hakim dengan kinerja tidak akan berjalan sempurna tanpa adanya evaluasi diklat yang memadai. Evaluasi diklat sendiri bisa diklasifikasikan ke dalam dua bagian, pertama, evaluasi pencapaian individual hakim dalam program diklat, serta kedua, evaluasi terhadap efektivitas program diklatnya sendiri.

Untuk aspek pertama, harus diakui bahwa diklat adalah media yang representatif untuk menilai kualitas seorang hakim, seperti kemampuan menyerap materi tertentu, serta kemampuan untuk mengembangkan pengetahuan dan keterampilan tertentu. Diklat juga merupakan media paling objektif untuk memperbandingkan kualitas seorang hakim dengan hakim yang lain. Sebab dalam program diklat kapasitas seseorang dioptimalkan terlebih dulu (lewat aktivitas dan materi diklat) sebelum kemudian dievaluasi.

Dalam program diklat, selain achievement formal, intelektualitas dan potensi seorang hakim bisa dievaluasi secara lebih terukur. Ada peluang peer review atau kontrol pihak lain, ketika hasil diklat dijadikan dasar untuk menentukan karir seorang hakim. Paling tidak instruktur dan peserta diklat lainnya akan mengontrol jika ternyata hasil evaluasi diklat seseorang tidak sesuai dengan kenyataan yang mereka temui. Begitu halnya ada dukungan dan pengakuan ketika evaluasi dilakukan secara objektif dan memang mencerminkan kenyataan.

Sedangkan untuk aspek kedua, evaluasi diklat akan berpengaruh besar untuk memperbaiki program diklat, membuatnya efektif dari sudut pembiayaan, atau malah menentukan faktor-faktor di luar program diklat yang mengganjal pemanfaatan hasil diklat bagi peningkatan kinerja hakim dan pengadilan. Dalam konteks ini, evaluasi diklat bisa memenuhi kebutuhan peserta diklat, yaitu guna mengukur apa yang mereka terima dari program diklatnya; kebutuhan lembaga diklat hakim, untuk mengukur efektivitas dan terus memperbaiki program diklat yang diselenggarakannya; dan kebutuhan lembaga peradilan sendiri, untuk mengetahui nilai dari program diklat yang diadakan bagi peningkatan kinerja lembaga peradilan secara keseluruhan.

Penutup

Terbuka lebar kesempatan bagi MA sebagai pemegang kekuasaan kehakiman tertinggi, dan nantinya selalu pemegang wewenang administrasi kepegawaian hakim untuk menyempurnakan sistem diklat hakim. Mulai dari menentapkan tujuan diklat hakim secara lebih spesifik untuk mengecualikannya dari sistem diklat PNS pada umumnya, meningkatkan otonomi dan profesionalisme lembaga serta SDM penyelenggaranya, membenahi mekanisme penyusunan kurikulumnya, memperbaiki mekanisme evaluasinya, hingga mengaitkan program diklat dengan sistem perencanaan karir dan sistem kepegawaian lainnya.

Tetapi tentu saja agenda penyempurnaan sistem diklat hakim hanya merupakan bagian kecil dari, dan mutlak mensyaratkan berjalannya agenda perbaikan peradilan lainnya. Sebab bagaimanapun, cuma sedikit manfaat yang bisa dipetik dengan melatih ratusan atau ribuan hakim jika sistem dan kondisi eksternal tetap tidak berubah ketika para hakim tersebut kembali pada pekerjaannya. Harus ada jaminan bahwa investasi di bidang diklat tidak akan sia-sia dengan menyediakan sistem dan kondisi yang lebih baik bagi para hakim untuk bisa bekerja secara imparsial, kompeten, dan efektif.

(Tulisan ini pernah dimuat di Jurnal Hukum Jentera terbitan Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia (PSHK) edisi IV, Oktober 2003)


[1] Linn Hammergren, Judicial Training and Justice Reform, (Washington DC: US Agency for International Development, 1998), hlm. 13.

[2] Di negara common law seperti Amerika Serikat, calon hakim direkrut dari kalangan profesional hukum, tetapi belum tentu keterampilannya relevan dengan jabatan hakim (misalnya tidak punya pengalaman berpraktek di pengadilan).

[3] Penekanan ini dapat dilihat misalnya dari diklat calon hakim di Perancis yang memakan waktu 31 bulan, yang terdiri dari 8 bulan training di Ecole Nationale de la Magistrature dan sisanya meliputi diklat praktek (magang); diklat calon hakim di Belanda yang memakan waktu 4 tahun yang sebagian besar waktu dialokasikan bagi magang; atau diklat calon hakim di Indonesia yang terdiri dari 6 bulan training di Pusat Pendidikan dan Latihan (Pusdiklat) Depkeh & HAM serta kurang lebih 2 tahun diklat magang.

[4] Misalnya dengan memberikan simulasi penanganan perkara-perkara yang kental faktor subjektivitasnya, seperti perkara yang berkaitan dengan gender, agama, etnis, dan lain-lain.

[5] Penggunaan indeks perstasi semata untuk menilai kualitas calon mulai diragukan mengingat kesenjangan standard penilaian antarfakultas hukum yang kadang sangat lebar.

[6] Daftar Penilaian Pelaksanaan Pekerjaan.

[7] Diklat misalnya, belum banyak dikaitkan dengan pengembangan karir. Malah sering terjadi, bahwa penugasan diklat diberikan sebagai upaya untuk menyingkirkan pegawai yang tidak disenangi. Lihat Burhanuddin A Tayibnapis, Administrasi Kepegawaian Suatu Tinjauan Analitik, (Jakarta: PT. Pradnja Paramita, 1995), hlm. 184.

[8] Dalam bentuk keterikatan pengadilan untuk menjamin akses publik dalam mendapatkan putusan, bukan “cuma” dalam bentuk kewajiban hakim suatu pengadilan untuk membacakan putusan secara terbuka.

[9] Pada umumnya para calon hakim tidak memiliki kegiatan pembinaan berarti selama masa magangnya sebagai CPNS, selain penerapan aturan-aturan PNS seperti absensi dan lain-lain. Meskipun hal itu sangat bergantung pada inisiatif ketua pengadilan penerima magang dan inisiatif si calon hakim sendiri. Tidak adanya program pembinaan yang baku pada tahap ini menjadikan pengadilan dibenarkan untuk membebani para calon hakim dengan pekerjaan klerikal, bahkan pekerjaan di luar kedinasan sekalipun.

[10] Karena ada harapan bahwa dengan mengikuti berbagai diklat struktural tersebut, karir seorang hakim sebagai PNS akan terangkat dengan sendirinya.

[11] Lihat Pusdiklat Depkeh & HAM RI, Profil Pusat Pendidikan dan Latihan Pegawai Departemen Kehakiman dan HAM RI, (Jakarta: Pusdiklat Depkeh & HAM RI, 2002).

[12] Sebenarnya telah muncul kritik dari sebagian hakim terhadap pogram diklat (terutama yang didukung bantuan asing) yang memang terus meningkat dari waktu ke waktu. Terlepas dari sisi positifnya bagi pengembangan kapasitas hakim, tidak bisa dipungkiri ada kecenderungan untuk menyisipkan atau malah memprioritaskan materi-materi yang kental muatan transnasionalnya, yang kadang hanya dinilai penting berdasarkan standard internasional, namun tidak banyak berpijak pada kebutuhan lokal. Seorang hakim sebuah pengadilan negeri di Sumatera Barat misalnya, menyatakan pada penulis bahwa seringkali pelatihan yang diikutinya berfokus pada materi-materi yang canggih, seperti money laundering, competition law, intellectual property rights, dan lain-lain. Padahal menurutnya masih banyak materi lain yang kesannya basic, namun penting bagi pelaksanaan tugasnya sehari-hari. Hakim tersebut memberi contoh perlunya pelatihan tentang mekanisme musyawarah majelis yang justru vital, terutama bagi para hakim yunior. Yaitu bagaimana berargumentasi tentang fakta dan pertimbangan hukum atas suatu perkara secara fair, tanpa harus terpengaruh oleh senioritas anggota majelis yang lain, sambil menghindarkan dominasi ketua majelis.

[13] Mahkamah Agung RI, Organisasi dan Tata Kerja Kepaniteraan/Sekretariat Jenderal Mahkamah Agung RI, (Jakarta: Mahkamah Agung RI, 2001), hlm. 45.

[14] Faktanya di MA, sebagaimana juga terjadi di institusi pemerintahan lain, posisi pengajar di lembaga diklat cenderung mendapat stigma yang kurang menyenangkan di mata para hakim sendiri. Posisi di lembaga diklat kadang dipandang sebagai media pendisiplinan bagi hakim bermasalah, sebelum yang bersangkutan ditempatkan kembali pada fungsi utamanya (mengadili).

[15] Misalnya dengan merekrut para wakil ketua pengadilan negeri seperti yang diterapkan oleh Stichting Studiecentrum Rechtspleging (SSR), lembaga diklat hakim di Belanda.

[16] Sebagai contoh, dalam kurikulum diklat calon hakim oleh Pusdiklat Depkeh & HAM, lebih dari 60 persen waktu belajar dialokasikan untuk materi-materi dasar yang seharusnya sudah diberikan di fakultas-fakultas hukum. Lihat Pusdiklat Pegawai Depkeh & HAM RI, Pokok-pokok Penyelenggaraan Pendidikan Calon Hakim Angkatan XV Tahun 2001. (Jakarta:  Pusdiklat Pegawai Depkeh & HAM RI, 2002).

Posted in Hukum, Pendidikan | Tagged , | 4 Comments