Oleh Binziad Kadafi
Tren ketakutan di kalangan pejabat publik
Coba bayangkan. Suatu saat nanti, ada kondisi di mana orang-orang yang tidak etis dan tidak bermoral berupaya sangat keras merebut berbagai jabatan publik yang ada. Tujuannya satu, supaya mereka bisa melakukan tindak pidana −sekalipun merugikan banyak orang, dan asalkan menguntungkan diri sendiri− tanpa kuatir dituntut secara hukum. Barangkali dalam konteks Indonesia kita tidak perlu membayangkannya lagi. Barangkali hal itu sudah demikian adanya. Tetapi kecenderungan itu akan semakin meluas apabila pemerintah beberapa waktu lalu jadi menerbitkan aturan hukum yang melindungi pejabat publik dari pertanggungjawaban hukum atas kebijakannya.
Perlindungan hukum yang dinikmati golongan tertentu, tepatnya kekebalan hukum, adalah ancaman terbesar bagi prinsip dasar demokrasi dan keadilan. Kekebalan hukum pejabat mengandung ironi. Di mana ada orang-orang yang diberi kepercayaan publik, tetapi tidak bisa dimintai pertanggungjawaban ketika kepercayaan tersebut jelas-jelas mereka langgar.
Direproduksinya wacana perlindungan hukum bagi pejabat tidak bisa dilepaskan dari geliat pemberantasan korupsi. Dikatakan reproduksi karena berbagai privilise bagi pejabat di Indonesia sebenarnya sudah dinikmati sejak lama, termasuk kekebalan. Entah dengan peraturan, atau dengan mandulnya penegakan hukum, terutama pada tindak pidana korupsi, yang pelakunya sebagian besar pejabat.
Meski masih menuai kritik, geliat pemberantasan korupsi mulai terasa di Indonesia. Banyak anggota DPRD sekitar 2004 yang ditetapkan menjadi tersangka korupsi, bahkan telah dijatuhi pidana. Berikutnya, giliran pejabat pemerintahan daerah yang banyak jadi target penindakan. Mereka umumnya terlibat korupsi penyalahgunaan APBD.
Tetapi bukan itu saja. Figur-figur kuat seperti gubernur, menteri, komisioner, dan anggota DPR, baik yang aktif maupun sudah tidak aktif, mulai dibuat kuatir oleh kegiatan penyidikan dan penuntutan menggunakan beragam pasal tindak pidana korupsi. Bahkan sebagian sudah merasakan sunyinya ruang penjara.
Geliat pemberantasan korupsi jelas membawa dampak, baik positif maupun negatif, tergantung kaca mata siapa yang dipakai melihatnya. Selain ketakutan berbuat curang serta mulai menguatnya apresiasi pejabat terhadap prinsip kehati-hatian, geliat pemberantasan korupsi juga membawa dampak, yang oleh sebagian kalangan, disebut sebagai stagnansi aktivitas pembangunan.
Dari sebuah penelitian BPKP pada 2006, disinyalir banyak pejabat, pusat maupun daerah, yang ketakutan memimpin suatu proyek pembangunan. Sebuah posisi yang dulunya sangat diperebutkan. Akibatnya, realisasi proyek-proyek pembangunan jadi sangat rendah. Fenomena lain juga bermunculan. Banyak bankir yang lantaran takut dituduh korupsi, memilih bersikap pasif dalam menyalurkan kredit.
Berbagai gejala di permukaan itulah yang pernah coba ditangkap mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla yang saat itu juga Ketua Umum Partai Golkar. Dalam sebuah rapat Partai Golkar Mei 2006, Kalla mengungkapkan perlunya dibuat aturan yang akan melindungi pejabat supaya mereka tidak takut lagi melangkah.
Sebenarnya ketika gagasan itu dilontarkan, potensinya menjadi senjata baru bagi pejabat untuk menghindar dari tanggung jawab hukum, sudah disadari. Karenanya sejak awal sudah dijelaskan, bahwa aturan itu hanya untuk memilah antara kejahatan dan kesalahan kebijakan. Antara pertanggungjawaban pidana dengan pertanggungjawaban administrasi dan politik.
Tetapi justru di situ letak soalnya. Lewat pernyataan tersebut, seolah-olah hukum Indonesia belum memiliki garis batas untuk memilah antara kejahatan dengan kesalahan kebijakan. Secara tidak langsung, pernyataan tersebut juga meragukan berbagai putusan Pengadilan terhadap perkara korupsi karena aturan hukumnya dianggap belum jelas. Dan ternyata pernyataan itu senada dengan pembelaan banyak pejabat yang dituduh korupsi, namun berusaha mengalihkan pertanggungjawaban pidana menjadi sekadar pertangungjawaban administrasi.
Kenapa takut?
Semestinya, untuk sampai pada sebuah usulan solusi, siapa pun yang mencetuskan dan menggodok usulan perlindungan bagi pejabat, harus mengidentifikasi lebih dulu akar masalahnya. Kenapa banyak pejabat publik takut menjalankan tugas, meskipun tugas tersebut sah dan ada landasan peraturannya?
Seseorang menjadi takut, biasanya ketika dihadapkan pada tantangan yang sulit dia atasi. Karena itu takut menjalankan tugas secara benar dalam konteks ini, sama artinya dengan pengakuan pejabat bahwa mereka “kesulitan menjalankan tugasnya dengan benar”. Lalu pertanyaannya adalah, faktor-faktor apa yang sesungguhnya membuat pejabat publik kesulitan menjalankan tugas dengan benar?
Salah satu penyebab yang banyak dikeluhkan sekaligus sering jadi pembenar atas penyimpangan kebijakan, adalah kondisi darurat. Dalam kondisi tertentu seringkali pejabat publik harus mengambil kebijakan darurat. Misalnya ketika terjadi bencana alam maupun wabah penyakit yang memang membutuhkan penanganan cepat, yang tidak boleh dihambat oleh ketentuan administrasi sebagaimana biasanya. Karena menyimpang dari prosedur administrasi yang normal, ada ketakutan akan dipersalahkan.
Ketakutan tersebut menunjukkan bahwa berbagai peraturan tentang administrasi pemerintahan belum memuat kriteria dan prosedur yang jelas bagi pengambilan keputusan dan pelaksanaan kewenangan. Apa kriteria untuk menentukan suatu kondisi adalah darurat, serta bagaimana prosedur menjalankan kewenangan dalam kondisi semacam itu, agaknya belum diatur secara rinci. Diskresi dan wilayah abu-abu (grey area) bagi pejabat masih terlalu besar. Seolah mereka dilepas ke hutan belantara hanya berbekal senjata tanpa peta. Akibatnya mereka bisa tersesat dan celaka, atau justru membuat celaka.
Ketertutupan birokrasi juga bisa menjadi faktor penyebab berikutnya. Apabila kebijakan diambil secara tertutup, maka masyarakat tidak bisa mengontrolnya. Ketertutupan mengundang persepsi korupsi. Ketiadaan kontrol adalah kesempatan bagi penyimpangan. Lemahnya mekanisme checks and balances antar lembaga-lembaga negara, khususnya antara pemerintah dan lembaga perwakilan, entah karena pemandulan fungsi atau karena diikat oleh kepentingan jangka pendek yang sama, juga memberi kesempatan besar bagi penyimpangan.
Ketidaktahuan pejabat publik terhadap berbagai peraturan yang mendasari kewenangannya juga berpengaruh besar. Bagaimana mungkin mereka menjalankan kewenangan dengan benar jika tidak tahu apa yang wajib, boleh, dan terlarang. Dalam berbagai sidang kasus korupsi, tidak sedikit terdakwa menggunakan alasan tidak tahu peraturan. Kesenjangan komunikasi, buruknya diseminasi peraturan, pameo “pejabat pasti tahu peraturan”, serta kemalasan belajar, bisa dibidik sebagai penyebab utama di sini.
Faktor lain adalah kemampuan si pejabat. Ternyata pemilihan langsung tidak otomatis menghasilkan pejabat publik yang mampu. Kapasitas representasi yang didapat dari besar kecilnya suara dalam pemilihan umum tidak selalu berbanding lurus dengan kapasitas kepemimpinan, integritas, manajemen, dan administrasi. Bagi pejabat yang diangkat atau yang meniti karir, ketiadaan mekanisme evaluasi kinerja yang baik serta buruknya sistem pengangkatan dan promosi, menjadikan kemampuan mereka menjalankan kewenangan sulit dipastikan. Fit and proper test yang sudah mulai diterapkan dalam seleksi beberapa jabatan publik kadang lebih terasa sebagai formalitas daripada mekanisme penyaringan merit.
Sikap lama yang menekankan jabatan dari status dan hak ketimbang fungsi dan kewajiban, juga turut menjelaskan kenapa pejabat di Indonesia kesulitan menjalankan kewenangannya dengan benar. Pola pikir masa lalu bahwa pejabat adalah penguasa bukannya pemegang kepercayaan rakyat masih kental tertanam di kepala sebagian pejabat publik kita. Hal ini jelas mempengaruhi cara mereka memandang rakyat dan cara mereka bertanggungjawab kepada rakyat.
Faktor terakhir yang justru paling penting adalah motif, baik yang bersifat ekonomis maupun non-ekonomis. Sulit tidaknya bertugas secara benar sering dipengaruhi oleh cara pandang pejabat terhadap keuntungan material maupun immaterial dari kebijakannya. Menjalankan kewenangan secara benar artinya mengikuti semua aturan main (khususnya tentang alokasi sumberdaya). Jika aturan main tersebut ditaati, kecil peluang memetik keuntungan dari kebijakan, baik bagi diri sendiri ataupun golongannya. Bukan rahasia hal ini merupakan disinsentif bagi pejabat publik untuk bertindak dengan benar.
Menguji jalan keluar yang ditawarkan
Dengan mengenali akar dari suatu masalah, kita bisa menguji apakah suatu usulan jalan keluar memang tepat atau salah alamat. Atau lebih mendasar lagi, apakah usulan tersebut memang bisa menyelesaikan persoalan, tidak bisa menyelesaikan persoalan, atau justru menciptakan berbagai persoalan baru?
Jalan keluar berupa rencana penerbitan aturan hukum yang melindungi pejabat, apabila kita hadapkan dengan berbagai akar masalah di atas, jelas kontraproduktif. Aturan perlindungan potensial menambah nyali pejabat untuk melanggar kriteria dan prosedur dalam menjalankan kewenangan, karena toh pada akhirnya mereka terlindung dan semakin jauh dari tanggungjawab hukum.
Dari sudut sikap, mulai munculnya sikap takut korupsi di kalangan pejabat, yang begitu keras diupayakan berbagai pihak (masyarakat dan penegak hukum), akan pupus begitu saja karena digilas oleh sikap above the law yang datang dari kebijakan perlindungan tersebut.
Dan yang paling berbahaya adalah implikasi perlindungan hukum bagi pejabat terhadap faktor motif. Keserakahan dan mental korupsi akan semakin kuat melatari berbagai kebijakan publik lantaran motif-motif tersebut tambah sulit disentuh oleh sanksi hukum yang setimpal.
Hukum pidana dan hukum administrasi negara kita sudah secara jelas membedakan mana kejahatan, mana salah kebijakan. Jika pejabat melakukan kejahatan pasti akan diadili di peradilan pidana dan dikenai sanksi pidana. Sedangkan jika pejabat keliru dalam mengambil keputusan yang sifatnya konkrit, individual, dan final, sehingga merugikan seseorang, dia bisa digugat ke Pengadilan Tata Usaha Negara.
Sudah jelas pula bahwa pejabat hanya bisa dituntut secara pidana apabila tindakannya mengandung unsur melawan hukum, memuat niat memperkaya diri sendiri atau orang lain, dan dapat merugikan keuangan negara. Untuk apa lagi diperjelas? Jangan-jangan aturan perlindungan pejabat malah mengaburkan kriteria tindak pidana dan jadi tameng bagi pejabat yang sesungguhnya jahat. Bisa saja seorang pejabat mengambil kebijakan yang seolah-olah benar. Padahal jika diselidiki, kebijakan itu ternyata mengandung berbagai kriteria tindak pidana.
Cabut akar masalahnya
Ada logika sederhana. Untuk menyelesaikan suatu masalah, kita harus menghilangkan faktor-faktor yang menyebabkan masalah itu muncul. Masalah akan tetap ada ketika penyebabnya dibiarkan ada.
Untuk mendorong pejabat publik agar berani menjalankan kewenangannya secara benar, semua akar masalahnya yang telah diidentifikasi harus lebih dulu dihilangkan dengan rincian solusi yang logis. Jangan mengajukan solusi yang melenceng dari akar masalah. Solusi harus setia pada akar masalah.
Solusi yang seharusnya ditawarkan, paling sedikit memuat komponen-komponen sebagai berikut. Pertama, perkecil grey area pada setiap aturan hukum yang menyangkut tugas dan wewenang pejabat, atau yang menyangkut administrasi pemerintahan pada umumnya. Perlengkap kriteria dan prosedur bagi pejabat dalam mengambil kebijakan dan melaksanakan kewenangan. Terjemahkan semua asas-asas umum pemerintahan yang baik ke dalam berbagai aturan hukum tersebut. Sedapat mungkin jangan sisakan ruang bagi diskresi. Paket RUU di bidang administrasi pemerintahan bisa jadi langkah awal untuk merealisasikan solusi ini. Ke depan, perbaikan berbagai aturan yang tumpang tindih, tidak jelas, dan tidak lengkap harus jadi prioritas program legislasi nasional demi kepastian hukum bagi pejabat dan terutama bagi masyarakat.
Kedua, segera terapkan prinsip keterbukaan dalam menjalankan roda administrasi pemerintahan. Buka pintu selebar mungkin bagi partisipasi publik dalam perencanaan, pelaksanaan, monitoring, dan evaluasi program-program pemerintahan. Dari situ akan kelihatan mana kebijakan yang ditentang, dikritik, dan didukung masyarakat. Dukungan masyarakat adalah perlindungan yang sebenar-benarnya.
Ketiga, jalankan sikap kritis, saling mengawasi, dan saling mengimbangi antarcabang kekuasaan negara. Lembagakan mekanismenya, agar ada early warning system atas suatu potensi pelanggaran hukum sebelum hal itu terjadi. Dukungan politik lembaga perwakilan bisa meningkatkan keberanian mengambil dan menjalankan kebijakan, apalagi jika didasari kepentingan rakyat.
Keempat, perbaiki arus informasi dan diseminasi peraturan perundang-undangan, baik dari pusat ke daerah, dari daerah ke pusat, atau dari suatu lembaga ke lembaga yang lain. Teori fiksi hukum yang menganggap setiap orang tahu peraturan ketika peraturan itu diundangkan, harus diimbangi dengan sosialisasi peraturan secara lebih sistematis. Para pejabat harus jadi target pertama yang mesti memahami peraturan terkait dengan tugas dan wewenangnya.
Kelima, bagi pejabat publik yang dipilih, dorong publik untuk kritis terhadap program-program yang ditawarkan para calon, dan menjadikan hal itu sebagai indikator untuk menilai kapasitas calon sebelum memilih. Adapun bagi pejabat yang diangkat atau meniti karir, terapkan mekanisme fit and proper test yang objektif, profesional, transparan dan akuntabel dalam sistem rekrutmen dan promosi karir. Pastikan setiap orang yang mengemban suatu tugas dan kewenangan adalah benar-benar orang yang bersih, mampu, dan hati-hati dalam menjalankannya.
Keenam, tingkatkan kemampuan pejabat publik secara menyeluruh. Gunakan forum-forum yang sudah ada sebagai media berbagi pengalaman dan pengetahuan serta peningkatan kemampuan dalam menyelenggarakan administrasi pemerintahan yang baik. Jadikan mereka yang lebih dulu berbenah sebagai model bagi yang lain.
Ketujuh, rumuskan, sepakati, serta tegakkan kode etik dan standar kerja yang bisa memandu para pejabat untuk berperilaku sesuai, serta mampu menghindarkan pejabat dari kecenderungan melanggar hukum. Kontekstualisasi dan internalisasi kode etik dan standar kerja di setiap lembaga sangatlah penting.
Kedelapan, tingkatkan penegakan hukum guna memastikan para pejabat yang punya motif jahat dalam mengambil kebijakan akan menerima sanksi setimpal. Pertimbangkan reward mechanism untuk meningkatkan insentif bagi pejabat publik dalam menyelenggarakan pemerintahan secara baik dan benar.
Menjalankan tugas dan kewenangan secara benar adalah kewajiban pejabat. Karena wajib, tidak cukup alasan untuk menghindar dari tugas, hanya karena takut tergelincir ke dugaan korupsi. Di sisi yang lain, korupsi jelas-jelas dilarang. Karena dilarang, pejabat tidak boleh menyelimuti korupsi di balik kebijakan. Biarkan sistem peradilan yang menentukan apakah suatu tindakan memang betul hanya ada di wilayah administrasi negara atau sudah menyentuh wilayah pidana, berbekal aturan hukum yang adil dan mekanisme penegakan hukum yang independen, yang kualitasnya harus selalu kita perbaiki dari waktu ke waktu, bukannya malah dirusak dengan upaya mengangkangi prinsip dasar equality before the law, lewat kebijakan memberi imunitas hukum kepada kalangan tertentu.
Jakarta, Medio 2006